Tulisan saya ini telah dimuat di Bangka Pos pada 8/5/2010 Lihat Disini

Gemerlap politik menjelang berlangsungnya pemilihan kepala daerah (pemilukada) dibeberapa daerah semakin terasa menghentak. Meski kompetisi antar pasangan calon mulai berlangsung dalam ritme yang semakin dinamis. Namun jika bercermin dari pemilukada sepanjang 2005-2008 silam, potensi konflik tetap tidak bisa diremehkan. Depdagri mislanya, menyebutkan bahwa 486 pemilukada yang digelar pada 2005-2008, hampir separuhnya bermasalah. Bahkan pemilukada di Maluku Utara konfliknya baru selesai setelah 1,5 tahun.

Umumnya konflik pemilukada dipicu persoalan penghitungan suara dan masalah daftar pemilih tetap (DPT). Sebagian yang lain lantaran ada dugaan ketidaknetralan KPUD. Malangnya, rata-rata pemilukada yang bersengketa kerap diwarnai dengan keributan antar pendukung. Meskipun selalu meriah, tetapi alih-alih mendatangkan kebaikan, yang tersaji malah konflik berpkepanjangan. Fenomena tersebut menggelitik kita untuk bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi?. Lalu, langkah apa yang harus diusahakan agar potensi konflik pesta demokrasi ini bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir?.

Pertama, Secara substansial jejak petaka konflik pemilukada setidaknya bercokol pada proses seleksi kandidat yang nampak masih diiringi oleh pragmatisme politik dan oligarki. Dalam banyak kasus pertimbangan pragmatis nampak jelas dalam melakukan seleksi kandidat terutama oleh partai yang tidak memiliki kader-kader handal. Posisi seperti ini membuat seleksi tidak lagi didasarkan pada kompetensi namun lebih ditentukan oleh seberapa tebal kocek sang kandidat.

Sialnya, banyak parpol yang memosisikan dirinya sebagai kendaraan sewaan. Fenomena ini kian membuka ruang transaksi antara parpol dengan para kandidat. Akhirnya, parpol -tanpa malu- memasang harga setinggi mungkin bagi siapa saja yang berminat menggunakan jasanya.

Pragmatisme semacam inilah yang banyak menimbulkan ketidakpuasan diranah akar rumput. Sebab keputusan hanya diambil secara oligarkis sentralistik oleh segelintir elit partai ditingkat pusat. Akibatnya pemilukada menjadi elitis, hanya menjadi wilayah para elit. Hanya orang-orang kuat dan berkantong tebal saja yang mampu mencalonkan diri. Sementara mereka yang berkualitas namun tidak punya amunisi ekonomi yang besar akan terpental sebelum sampai kepanggung pertunjukan.

Hal lain yang juga cukup menggelikan adalah kemunculan kandidat-kandidat yang memiliki ikatan biologis dengan razim lama. Dari mulai saudara, anak sampai istri rezim penguasa sebelumnya. Dikediri misalnya, tak tanggung-tanggung dua istri bupati secara bersamaan turut serta meramaikan bursa pemilukada. Sekali lagi, substansi demokrasi terpaksa harus dimentahkan oleh pragmatisme politik dan oligarki.

Melihat fenomena tersebut, setidaknya ada dua hal mendasar yang perlu dipertimbangkan oleh parpol dalam menyongsong pemilukada. Mengganti pola oligarkis dalam penetapan kandidat yang akan diusung dengan seleksi yang lebih demokratis. Kemudian yang tak kalah penting, pola kaderisasi dalam partai politik perlu terus dimasifkan. Hal ini agar parpol memiliki stok kader cukup dan siap berkompetisi dalam setiap pemilukada yang akan mereka ikuti.

Kedua, secara yuridis pengaturan resolusi konflik pemilukada memang belum dilakukan secara tuntas. UU No. 32 Thn. 2004 yang mendasari proses pemilihan kepala daerah turut berkontribusi dalam menciptakan berbagai konflik pemilukada selama ini. Undang-undang ini tidak cukup melindungi proses demokratisasi dalam pelaksanaan pemilukada. Mekanisme penetapan pemenang pemilukada misalnya, yang diatur dalam UU tersebut bahkan telah menjadikan event pembelajaran demokrasi yang tidak sesuai dengan cita-cita demokrasi itu sendiri.

Selain itu, ketentuan dalam UU No. 32 Thn. 2004 ini juga tidak menyediakan sarana resolusi konflik dan penyelesaian sengketa pemilukada secara konprehensif. Penyelesaian masalah dalam penyelenggaraan pemilukada hanya dibatasi sampai pada perdebatan tentang perbedaan jumlah penghitungan suara. Sementara bentuk-bentuk kecurangan yang selama ini banyak terjadi dan merupakan sumber utama konflik dalam pemilukada justeru direduksi menjadi tindakan pidana. Jadi untuk menilai keabsahan kemenangan seorang calon terpilih hampir tidak diperhitungkan.

Belum lagi proses pembuktian tindak pidana pemilukada yang tidak mudah karena dibatasi dengan waktu yang sangat pendek serta rentan dengan upaya kolusi. Sehingga dalam praksisnya memang tidak mudah untuk menjerat pelaku dengan sanksi hukum. Oleh karenanya menjadi wajar apabila penyelenggaraan pemilukada selama ini telah menebar konflik secara horisontal di beberapa daerah.

Keadaan seperti ini tentu akan mengganggu stabilitas politik yang pada akhirnya dapat menghambat proses pembangunan daerah itu sendiri. Oleh karenanya, wacana untuk mengamandemen ketentuan tentang pemilukada dalam UU No. 32 Thn. 2004 kiranya patut dipertimbangkan. Tujuannya tidak muluk, hak-hak demokrasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilulkada dapat dilindungi secara lebih utuh dan konflik-konflik horisontal bisa dikurangi.

Di luar persoalan diatas, ada hal lain yang tak boleh dilupakan dari tahapan pemilukada kali ini yakni ditundanya pelaksanaan pemilihan, karena hanya satu calon yang mendaftar, seperti yang terjadi di pekalongan. Kejadian seperti ini rupanya menginspirasi kontestan pemilukada didaerah lain untuk memunculkan calon bayangan atau calon boneka. Partai yang mendaftarkan salah satu calon, namun secara riil berkampanye dan berjuang untuk memenangkan calon lainnya. Di satu sisi hal ini bisa dianggap sebagai strategi politik, namun disisi lain menjadi cermin buruknya pola kaderisasi ditataran partai politik. Sebuah ironi demokrasi tentunya.

Dus, inilah kiranya sebagian penting rekam benih-benih konflik pemilukada. Meski sejauh ini tahapan pemilukada ditahun ini masih terbilang kondusif, diperlukan antisipasi dini dari semua elemen agar pesta demokrasi ini berjalan aman dan sesuai harapan. Semoga..
Download Artikel Ini

9 Komentar

  1. waduh kapan y brad bangsa indonesia bisa tenang??
    tiap da pemilihan pasti ribut truz...

    BalasHapus
  2. mari qta semua belajar..
    saling menghargai.. :D

    BalasHapus
  3. harus saling menghargai tuh...

    BalasHapus
  4. klo sebabnya bisa di musnah maka akibatnya takkan lahir....setidaknya ini keyakinanku sementara.

    BalasHapus
  5. sepakat tuh kata devtra...,sebab itu yg utama..

    BalasHapus
  6. ckckck..indonesia..indonesia..
    ane gak ngerti gan ttg negri ini :(

    mau tukeran link gak? balas komen diblog saya ya :) biar saya bisa bisa tahu :)

    BalasHapus
  7. menurut saya, Indonesia nggak cocok berdemokrasi!!!! lebih cocok & lebih baik sistem kerajaan supaya tidak banyak keluar biaya...

    BalasHapus
  8. mudah"an gk terulang lagi...
    amien....

    BalasHapus
  9. kalau saya udah golput seumur hidup... rugi akalua saya sumbang suara buat pemimpin yang kafir

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama