Krisis lingkungan kian nyata. Alam yang dulu bersahabat dengan manusia kini seakan murka. Di Indonesia pemerkosaan terhadap hutan telah mengantarkan banjir hingga ke tangga Istana Jakarta. Belum lagi kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, gempa, puting beliung yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, adalah peringatan nyata bagi kita untuk segera mereorientasi gaya hidup yang terus saja memperkosa lingkungan.

Sayang, peringatan alam tersebut agaknya tidak sampai ketelinga para petinggi di Daerah Bangka Belitung (BaBel). Buktinya, setiap tahun BaBel kehilangan 1.000 hingga 1.500 hektare hutan dan lahan produktif. Bahkan baru-baru ini, hutan Bangka Selatan (BaSel) juga telah dijual oleh Pemerintah Daerahnya. Bupati Basel melalui Dinas terkait, sudah mengeluarkan izin prinsip untuk sekitar delapan perusahaan sawit dengan total lahan sekitar 118.390 hektare.

Padahal luas lahan APL di Kabupaten ini hanya sekitar 206.606 hektare. Jika lahan sudah tergarap sawit, maka sisa lahan APL nanti hanya sekitar 88.216 ha. Lahan sempit itu pun sudah digarap untuk perkebunan rakyat (BangkaPos, 18/6). Jika rencana tersebut berjalan mulus maka Bangka Selatan terancam tanpa hutan.

Dampak Ekologis

Kalau saja kita berani berhitung, sebenarnya pengelolaan -untuk tidak menyebut perampasan- hutan yang di lakukan pemerintah Basel tersebut tidak akn mendatangkan keuntungan bagi masyarakat setempat. Apa yang dilakukan Bupati Basel tersebut justeru akan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat. Karena lahan dan perkebunan akan dikuasai oleh swasta.

Perusakan hutan dengan cara tersebut juga akan berdampak pada curah hujan yang tidak menentu, perubahan suhu udara dan pasang surut air laut yang tidak menentu pula. Belum lagi bencana seperti banjir tanah longsor, erosi dan kekeringan yang setiap saat mengancam.

Penelitian yang dilakukan Yayasan Telapak Indonesia tahun 2000 misalnya menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah juru selamat, tetapi bencana bagi sumber daya alam dan rakyat, khususnya masyarakat adat. Sebagai contoh, pembukaan lahan perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan adalah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian negara tidak kurang dari US$ 9,3 juta. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit merampas akses dan penguasaan tanah-tanah oleh masyarakat adat.

Sebuah penelitian lain yang dilakukan Paulus Florus (1999) juga menyimpulkan, bahwa pendapatan tidak tunai penduduk seperti sayuran, padi, umbi-umbian, jagung, kayu bakar, tanaman obat dan lauk pauk (di darat dan di sungai/danau) menjadi hilang ketika seluruh hutan dan areal pertanian dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Dengan perhitungan lengkap, keluarga petani sebenarnya justru mengalami penurunan pendapatan antara 40-60% bila mereka menjadi petani sawit. Artinya, yang untung bukan petani sawit, tetapi pengusaha dan para Bupati (sipil dan militer) yang berkolusi dengan perusahaan.

Masih menurut Florus, perkebunan sawit menghancurkan lingkungan, terutama tanah dan hutan. Akibatnya, pendapatan dan gizi masyarakat akan jauh menurun. Sebelum ada perkebunan sawit, hutan dan tanah yang subur menyediakan bahan makanan, seperti jamur, daun pakis, rebung, sagu, umbi-umbian, madu, bahan obat-obatan, serta aneka jenis binatang buruan di darat dan di sungai yang bisa dikonsumsi. Hutan juga menyediakan bahan untuk membuat pakaian dan berbagai perlengkapan rumah tangga.

Dampak Sosial

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit baru mulai dipahami, sebagian besar berkat kerja dari Dr. Lisa CUrran. Perkebunan kelapa sawit memang menyediakan kesempatan kerja , namun sistem perkebunan akan menjadikan petani dan buruh perkebunan tak ubah seperti perbudakan.

Kelapa sawit membutuhkan sekitar 5-7 tahun untuk berbuah. Artinya masyarakat yang bekerja akan mendapatkan bayaran 2,5 USD per hari. Sementara lahan mereka belum menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan kelapa sawit. Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2 hektar adalah 682-900 USD per bulan.

Padahal karet dan kayu menghasilkan 350-1.000 USD per bulan. Rendahnya pendapatan digabung dengan tingginya modal yang dibutuhkan dan tingginya bunga pinjaman akan membuat para petani dan buruh sawit tetap terus-menerus berhutang pada perusahaan kelapa sawit. Jika sudah begini, siapa yang rugi.

Oleh sebab itu, rencana “edan” pemberangusan hutan yang dirancang oleh Pemda Basel baru-baru ini rasanya perlu untuk dikaji kembali atau bila perlu ditentang. Apalagi eksistensi bumi telah diancam oleh pemanasan global yang semakin serius. Saya yakin para pengelolan daerah Kabupaten Basel juga menyadari hal tersebut.

Bukankah sangat kontradiktif, mengampanyekan pelestarian hutan dan penghijauan pada masyarakat di satu sisi, sementara di saat bersamaan Pemerintah Daerah justeru berambisi memusnahkan hutan.

Sebagai pengingat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, gabungan aliansi masyarakat adat dari 30 provinsi di Indonesia, dalam kongres nasional tahun 1999 telah menuntut agar hak-hak masyarakat atas sumber daya alam yang dirampas secara paksa oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk dikembalikan.

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit baru mulai dipahami, sebagian besar berkat kerja dari Dr. Lisa CUrran. Perkebunan kelapa sawit memang menyediakan kesempatan kerja , namun sistem perkebunan akan menjadikan petani dan buruh perkebunan tak ubah seperti perbudakan.

Kelapa sawit membutuhkan sekitar 5-7 tahun untuk berbuah. Artinya masyarakat yang bekerja akan mendapatkan bayaran 2,5 USD per hari. Sementara lahan mereka belum menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan kelapa sawit. Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2 hektar adalah 682-900 USD per bulan.

Padahal karet dan kayu menghasilkan 350-1.000 USD per bulan. Rendahnya pendapatan digabung dengan tingginya modal yang dibutuhkan dan tingginya bunga pinjaman akan membuat para petani dan buruh sawit tetap terus-menerus berhutang pada perusahaan kelapa sawit. Jika sudah begini, siapa yang rugi.

Oleh sebab itu, rencana “edan” pemberangusan hutan yang dirancang oleh Pemda Basel baru-baru ini rasanya perlu untuk dikaji kembali atau bila perlu ditentang. Apalagi eksistensi bumi telah diancam oleh pemanasan global yang semakin serius. Saya yakin para pengelolan daerah Kabupaten Basel juga menyadari hal tersebut.

Bukankah sangat kontradiktif, mengampanyekan pelestarian hutan dan penghijauan pada masyarakat di satu sisi, sementara di saat bersamaan Pemerintah Daerah justeru berambisi memusnahkan hutan.

Sebagai pengingat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, gabungan aliansi masyarakat adat dari 30 provinsi di Indonesia, dalam kongres nasional tahun 1999 telah menuntut agar hak-hak masyarakat atas sumber daya alam yang dirampas secara paksa oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk dikembalikan.Gambar pada posting ini saya pinjam dari Blog Mas Angga

Apa Kabar SaudaraKu;Apakah Kabupaten Bangka Selatan bisa hidup Tanpa Hutan?
Download Artikel Ini

10 Komentar

  1. waduh.. jangan sampai terjadi deh.. kalo tanpa hutan pasti bencana alam akan bermunculan karena hutan adalah penyeimbang.. kalo hutan pada habis, nsaib bumi ini gimana bro???

    BalasHapus
  2. sungguh sedih nasib bangsa ku yang miskin moral tapi kaya politik...
    bukannya politik membangun bangsa, tapi mempolitiki bangsa nya, bagaimana caranya biar dia punya duit...
    Apa negara ini kekurangan minyak kelapa sawit (CPO)??? padahal setiap tahunnya berapa barel cpo mentah di ekspor keluar negeri, dan di impor lagi ke indonesia dalam keadaan yang siap pakai... Apa Indonesia harus kayak gini terus!!

    Salam sukses Bang, keep blogging..

    BalasHapus
  3. selamatkan lingkungan kita
    ayo ayo ayo ayo!!
    untuk anak cucu kelak, jangan sampai kita dikutuk anak cucu lantaran tak menyisakan lingkungan dan beraneka ragam jenis tumbuhan...

    BalasHapus
  4. terimkasih atas komentar-komentarnya untuk arfi,sentra blog dan bung irwan ...

    BalasHapus
  5. sy sdkt sedih sbgai slh satu warga asli Bangka sob walpun sy bkn dari bangka selatan melihat keadaan pulau bangka, hutan habis karena adanya tambang inkonvensional Timah yg liar, skrg ini aja bbrpa pndu3k sdh beralih ke Sawit. Ya smg aja pemda stmoat bs lbh memperhatikan keadaan lingkungan di sana :)

    BalasHapus
  6. semoga saja Bang...terimakasih telah sudi mampir n berkomentar di kandang sederhana ini

    BalasHapus
  7. sungguh sangat disayangkan klo itu sampai trjadi,bagaimana nasib kita smua????gak mungkin kan klo terjadi bencana alam akibat gundulnya hutan yang kena rakyat miskin ja sedangkan pjabat2 tidak???emg nya bncana bisa mengenal jabatan org y????lagian dr SD kykna dah diajari y ttg manfaat hutan???knp msh jga dilakukan...???tak mgkin bisa hidup tanpa hutan.

    BalasHapus
  8. Para pengelola daerah 'sana' tak pernah masuk SD mungkin??!

    BalasHapus
  9. Disini pemerintah harus lebih tegas dalam upaya mengatasi dan merehabilitasi lingkungan yang telah rusak. PEraturan yang ada harus ditegakkan, disamping itu kontribusi masyarakat juga sangat mendukung dalam pelestarian lingkungan hidup. Semoga lama indonesia kembali menjadi hijau dan tetap menjadi paru-paru dunia.

    BalasHapus
  10. AMinnnn, semoga saja .... kasian anak cucu kita kelak

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama