Ini bukan tentang kuburan!. Tanah Bawah adalah nama kampungku. Terletak di wilayah Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka.

Kampung ini tersembunyi, menempati lembah dikelilingi oleh bebukitan. Mungkin itu pula sebabnya dinamai begitu. Meski sekarang agak siang (mudah dilihat) namun bau pedalaman masih tajam.

Hamparan hutan masih kentara. Perkebunan sawit, lada, dan karet juga masih tampak rukun bertetangga. Bersahabat akrab. Melambai-lambai, menyapa ramah orang-orang yang memandanginya.

Di sekitar Tanah Bawah, ada banyak desa sebenarnya. Tapi jaraknya berjauh-jauhan. Satu sama lain hampir 5 kilo. Beda sekali dengan kota atau desa-desa di tanah Jawa.
Pada siang hari kampung agak sunyi. Rumah-rumah ditinggal pergi penghuninya. Sejak fajar, orang-orang sudah beranjak. Kekebun, ngaret (memotong karet), dan sebagian lagi kesungai. Begitulah rutinitas di sini. Tak banyak dinamika.

Hampir saban hari, hanya anak-anak sekolah yang tersisa. Menjadi penjaga, meramaikan suasana kampung agar tak mati. Lalu-lalang kendaraan juga hampir tak ada. Hanya sesekali ada truk sawit melintas. Berderet-deret.



Ada mobil angkutan. Tapi hanya satu kali; di pagi hari, setelah fajar sampai pukul tujuh pagi. Itupun tak seberapa jumlahnya. Seingatku hanya ada tiga bus kayu, dan beberapa damri dari kampung tetangga.

Maklum saja, orang-orang jarang pulang. Pulang kekampung paling-paling seminggu sekali. Ke kota, mungkin ada satu dua; orang-orang berpunya. Selebihnya nanti, menjelang lebaran. Meski sebenarnya lebaran pun tak semua orang pulang ke kampung. Keluargaku sendiri misalnya, sering lebaran di kebun saat Idul Adha.

Kecuali jum’at pagi, satu minggu wajah kampung ku selalu begitu. Sepi, sunyi hampir tanpa penghuni. Orang-orang lebih akrab dengan kebun, hutan karet, dan belantara rimba. Mereka lebih suka jalan, menyusuri sungai dan rawa-rawa. Hidup di kebun, tenang tak banyak godaan.

Kampung ku, juga kampung-kampung tetangga, hampir serupa. Tak banyak glagat, tak suka bertingkah. Hidup rukun, saling kunjung sesekali kala lebaran. Atau saling meramaikan jika ada kondangan. Biasanya ada keramaian jika ada mantenan. Tapi itu jarang-jarang.

Itulah kampungku, Tanah Bawah. Kampung yang membelai hidupku 24 tahun lalu. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku berhasrat mengisahkannya.

Nama kampungku memang terdengar seperti kuburan. Dari ibukota provinsi butuh satu setengah jam untuk sampai kesana. Beberapa waktu yang lalu, aku tak sengaja berkesempatan melihatnya lagi.

Waktu itu matahari hampir terbenam.

Setelah 45 menit dari Jakarta, pesawat yang kutumpangi mendarat di bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Di ujung pintu masuk bandara sebuah rombongan telah menunggu menyambutku. Mereka adalah keluargaku.

Sehabis salaman dan cium tangan, mobil rombongan kami berangkat. Pada kiri-kanan jalan tak banyak yang bisa ku lihat. Sebab gelap malam menutupi sikut mataku. Aku juga lebih banyak diam. Hanya sesekali bercakap. Aku kecapaian, ingin tidur. Mataku benar-benar diserang kantuk.

Jang..., jang.... kita lah sampai”. Suara itu mengagetkanku. (Jang/Bujang dalam bahasa Bangka berarti panggilan untuk kakak tertua)

Rupanya suara adik kesayanganku. Ia menarik-narik tanganku agar aku bangun dan segera masuk kedalam rumah. Dengan mata terpejam mobil pun segera kuturuni.
“aaaahhhh......, aroma ini. Damai kampung ini. Adalah sejuk yang sangat ku rindui”.

(bersambung, ntah kapan?)

***
Apakah Anda ‘orang kampung’?

Eh..., jika takut ketahuan, jawab saja dalam hati. Tak perlu jujur. Malu kan, sama orang-orang. Saya pun begitu. Rasanya malu disebut orang kampung. Butuh sedikit nyali untuk mengakui bahwa “aku adalah orang kampung ”.

9 Komentar

  1. aku orang kampung, dan sampai kapan pun qu tetap orang kampung , hehehe

    qu juga dri sumatera, tapi sumatera barat. pulang juga cuma 1 x setahun ..

    salam :)

    BalasHapus
  2. aku bangga jadi orang kampung

    TEMPAT KELAHIRAN bukanlah penentu masa depan seseorang. Dimanapun seseorang itu lahir, ia masih memiliki pilihan untuk berusaha menggapai masa depannya.

    BalasHapus
  3. Awalnya juga agak sedikit aneh dengan nama itu, tapi melihat kondisi alamnya yang masih alami, memang wajar sekali jika dinamakan tanah bawah. Satu hal, kehidupan rukun seperti di kampung-kampung seperti itu sudah sangat jarang kita temui.

    BalasHapus
  4. Kondisinya hampir sama dengan kampung kelahiran ayahanda Denuzz, Kak. Bedanya, kampung ayahanda Denuzz itu berada di atas perbukitan yang sangat terpencil. Kalo ke sana, wuiiih... Alami banget alam dan kehidupannya...

    Nama kampungnya "Talang Sejemput"
    Talang = Kampung
    Sejemput = Secuil

    Salam sayang dari BURUNG HANTU... Cuit... Cuit... Cuit...

    BalasHapus
  5. waaaah ternyata ada banyak orang yang "berani" mengakui dirinya anak kampung,(seperti saya).

    salut...
    masih adakah blogger dari anak kampung???

    BalasHapus
  6. jujur saya orang kampung mas :D

    BalasHapus
  7. saya aslinya juga di kampung mas.. kampung saya di medan blm ada kamar mandi atau wc.. kalau mandi harus ke sungai..
    tp sekarang udah tinggal di jogja :D

    BalasHapus
  8. turut berduka atas keistimewaan jogjakarta

    BalasHapus
  9. Wah begitu ya.. jadi rindu kampung halaman, 2 tahun gak pulang meski tiap hari chat ma temen2 sekampung.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama