PADA TANGGAL 22 APRIL 1970, 20 juta warga Amerika turun ke jalanan serta memenuhi sejumlah taman dan auditorium untuk mengkampanyekan kelestarian dan keberlangsungan bumi. Ribuan mahasiswa berkumpul untuk menentang perusakan lingkungan. Gerakan ini semula dimotori oleh senator A.S bernama Gaylord Nelson.

Hari itu menandai hari jadi lahirnya sebuah perubahan pergerakan kepedulian terhadap lingkungan sekaligus ditetapkan sebagai Hari Bumi Se-dunia.

Peringatan Hari Bumi mulai berkembang secara mendunia pada tahun 1990. Ini ditandai dengan kedatangan 200 juta orang dari 141 negara-negara didunia yang bergerak serentak mengagnkat isu lingkungan secara global. Hari itu-pun menjadi titik tolak terlaksanya KTT Bumi pertama di Rio de Janeiro 1992.

Pada peringatan Hari Bumi Se-Dunia, seluruh umat manusia dimohon untuk merenungkan kembali eksistensinya dibumi yang mereka pijaki, yang selalu mereka ambil manfaatnya, dan seringkali mereka tindas untuk kepentingan mereka sendiri.

Memang, pada dasarnya bumi diciptakan oleh Tuhan untuk dikelola dan diambil mafaatnya bagi manusia. Namun bukan berarti kemudian dengan begitu manusia merasa paling berhak untuk menguasainya.

Untuk merenungkan keberadaaan bumi ini, pertama kali yang harus disadari adalah, bahwa bumi bukanlah semata-mata benda mati. Sebab Tuhan sendiri menandaskan; pada kejadian langit dan bumi dan bergantinya malam dan siang dan kapal yang berlayar dilautan yang memberi manfaat bagi manusia dan air yang diturunkan Allah dari langit, dihidupkannya dipermukaan bumi itu berbagai jenis mahluk hidup,….sesungguhnya yang demikian itu menjadi pembuktian bagi golongan yang mempergunakan akalnya.(lihat Q.S.Al.Baqoroh.164).

Tatakerja semacam ini merupakan bukti nyata bahwa bumi senantiasa mengembangkan kehidupan. Bukankah hanya makluk hidup yang bisa melahirkan kehidupan (ommi ovi ex ovi). Dan kalau tatakerja ini rusak kita jualah pertamakali yang akan menerima malangnya.

Secara jujur kita harus mengakui bahwa hidup kita sangat bergantung pada pelestarian bumi. Kita juga harus mafhum, bahwa kemajuan bangsa yang diperoleh dari hasil pembangunan, disatu pihak memang telah mengangkat bangsa ini dari dari keterpurukan dan kebodohan. Namun di pihak lain, hal ini ternyata tidak membawa kita pada kesadaran fundamental untuk menyelamatkan bumi. Perlahan hal ini justru kita abaikan.

Aneh memang, kini semakin cerdas manusia, semakin ‘cadas’ pula ia dalam merusak alamnya. Fenomena ini bisa dengan mudah kita lihat, betapa kerakusan telah mengelilingi manusia hingga mereka enggan sekali berhenti melecehkan bumi mereka sendiri. Secara sadar atau tidak kita juga tidak pernah berhenti megoyak bumi dengan eksloitasi tanpa henti.

Nampaknya, sepanjang amarah bumi belum muncul secara nyata dan serius kita terus saja menggali tanpa peduli aibatnya dikemudian hari nanti. Tanpa sadar kita sebenarnya tengah menggali lubang kubur kita sendiri.

Kenyataan tersebut semakin mengerikan, manakala bangsa-bangsa yang awalnya secara bersama-sama telah menjalin komitmen untuk menyelamatkan bumi, nyatanya malah berlomba-lomba membangun pabrik industri. Bahkan negara-negara adidaya yang paling vocal menyerukan penyelamatan lingkungan, pelestarian alam dan penyelamatan satwa malah memperbesar modalnya bagi eksplorasi perut bumi.

Apalah daya, sementara bumi semakin renta, manusia malah semakin ngotot berlaga merusak bumi tiada batasnya.

Jika fenomena ini tidak segera mendapatkan respon yang cukup serius maka agaknya ramalan Ronald Higgins benar-benar semakin nyata. Perlu diingat bahwa dalam sebuah kesempatan Higgins sempat mengguncang dunia. Pasalnya Higgins terlalu jujur dengan mengatakan bahwa kelangsungan manusia kedepan senantiasa dalam ancaman.

Manusia, menurut beliau, akan menghadapi sedikitnya tujuh problem besar. Dan sangat mungkin jadi petaka.

Pertama, ledakan penduduk yang terus mengguncang bumi manusia.
Kedua, sumberdaya alam akan semakin langka, berhadapan dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat.

Ketiga, denga itu, kemudian kelaparan dan gizi buruk akan mengancam jutaan penduduk dinegara-negara miskin dan berkembang.
Keempat, kualitas lingkungan hidup akan terus menurun, hingga alam semakin sulit menopang kehidupan manusia.

Kelima, ancaman nuklir yang kian berkembang dibanyak negara dan tak lagi terkendali. Ke-enam, pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berada diluar kedali manusia, bahkan manuisa cenderung dikuasai oleh teknologi. Ketujuh, moral manusia akan runtuh (degradasi) dengan kadar yang serendah-rendahnya (baca; H. Zainal Srifin Toha; April 2003).

Kini apa yang diramalkan Higgins tersebut telah nampak begitu nyata. Namun tetu saja dengan kenyataan seperti itu tidak semerta-merta kita mencari kambing hitam. Untuk itu, guna menyambut momen Peringatan Hari Bumi Se-Dunia tahun ini, mari bersama-sama kita bergandeng tangan, dengan landasan kejujuran dan keadilan, kita realisasikan komitmen yang telah disumpahkan bersama dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro pada bulan juni 1992 yang lalu.

Bahwa masa depan pelanet bumi ini sepenuhnya ada ditangan kita sebagai manusia. Sebagai mahluk yang telah dipercayai Tuhan untuk menjaga rahmatnya dijagad raya. Terakhir, dengan momen peringatan bumi kali ini, agaknya urgen untuk menengok kembali orientasi pembangunan yang sedang dan akan terus kita lanjutkan dimasa depan, untuk memperhatikan kemakmuran bumi.

Tidak lain ini semua demi terwujudnya keselarasan dan keharmonisan anatara kesejahteraan bumi dan manusia.


4 Komentar

  1. Renungan sebagai cermin pribadi diri kita, semoga kita tahu apa rencana Tuhan kepada diri kita untuk dilahirkan di dunia ini ?!....

    Salam

    "Ejawantah's Blog"

    BalasHapus
  2. Betul sekali,Pak. salam juga buat Anda.

    BalasHapus
  3. Dah speechless,,,,

    mgkin mmulai dr diri sendiri aja...,
    n.nv

    BalasHapus
  4. Heheee, TULISAN saya tentang bagaimana memulainya dari diri sendiri silahkan sodarabaca disini

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama