Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari artikel saya tentang kritik terhadap etika media massa. Bagi sodara yang ingin menilik artikel sebelumnya, silahkan baca dulu bagian pertamanya di sini dan bagian kedua di sini.

MENURUT Kristiawan, (Senior Program Officer for Media, Yayasan TIFA, Jakarta), konsekuensi dari etika jenis kedua adalah melihat berita sebagai discourse dalam konteks kompetisi perebutan makna adalah kehidupan publik.

Berita diposisikan sebagai unit yang mampu mempengaruhi proses pembentukan makna dalam kehidupan publik. Kehidupan publik merupakan kawanan makna yang dihasilkan dari perebutan makna oleh berbagai pemegang alat produksi makna.

Postmodernitas mengajarkan, makna selalu relatif bergantung pada siapa yang keluar sebagai pemenang dari medan pertempuran makna. Media massa tidak bisa bersikap naif dengan melarikan diri dari pertempuran itu dan dengan selubung teknik jurnalisme. Persis saat media massa merupakan salah satu lembaga yang signifikan dalam produksi makna, di situ masalah etika publik menjadi relevan.

Dalam perang makna, ada tiga peserta utama yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Tiga hal ini saling berseteru memperebutkan makna sesuai kepentingan masing-masing. Kehidupan publik yang ideal adalah fungsi dari keseimbangan tiga sektor itu.
Lantas, di manakah posisi media massa?.

Secara struktural sebenarnya bangunan kehidupan media massa sudah ideal. Negara sudah menumpulkan sengat politiknya lewat UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Artinya, hegemoni negara sudah bisa dilucuti. Untuk media penyiaran, aspirasi masyarakat sipil sudah termanifestasikan melalui KPI (meski KPI sering kelimpungan menghadapi industri media yang keras kepala).

Secara bisnis, bisnis media massa Indonesia sudah amat leluasa, bahkan cenderung mendominasi. Tiga pilar itu sudah hidup dengan leluasa dalam habitat media massa tanah air.

Ketika fasilitas makro sudah diberikan dan ternyata masih menimbulkan masalah, pendulum harus diarahkan pada wilayah internal media massa sendiri. Dalam iklim kebebasan media, mekanisme swa-sensor menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan berita, meninggalkan sensor eksternal dari negara.

Dengan demikian, etika menjadi signifikan dalam proses self-censorship. Masalah muncul karena yang dominan dipakai media massa Indonesia adalah etika teknis yang amat rentan bagi publik dalam konteks kompetisi industrial.

Di sisi lain menyambut liberalisasi, kita dihadapkan fakta bahwa ada perbedaan bentuk kontrol negara dan kontrol pasar. Kontrol negara bersifat koersif, sedangkan kontrol pasar bersifat intrusif. Intrusivitas kontrol pasar itu menjelma dalam watak berita yang berorientasi pada kompetisi pasar, berlandaskan etika teknis sehingga berita sering kehilangan makna publiknya.

Dampak buruk akibat peran media juga bisa terjadi lantaran interpretasi yang keliru dari publik, terhadap transformasi informasi yang disampaikan oleh media masa. Motifasi teknis media massa dalam menyampaikan pesan kepada publik adalah memberikan informasinya secara akuarat dan realistis tentang fenomena yang terjadi dalam kehidupam masyarakat.

Namun pesan itu kadang disalah pahami oleh publik. Kesalah pahaman publik dalam memahami pesan media umumnya disebabkan oleh latar belakang pendidikan. Jadi peran pendidikan juga menjadi tolak ukur dari reaksi sosial akibat peran media.

Dus, meski berita disajikan untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Namun interpretasi serta transformasi terhdap informasi dari media massa berada pada masyarakat itu sendiri. Hingga kini masyarakatlah yang ditunut untuk cerdas menafsirkan pesan media.

2 Komentar

  1. perlu memandang dari berbagai sisi buat dapetin satu point of view, melihat dari jauh kalau perlu.. demi tidak terjadi kesalah pahaman :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama