Pada Februari 2002, Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, usai sidang parlemen, menjadi bahan tertawaan. Blair menjadi bulan-bulanan karena tak bisa merumuskan secara singkat dan sederhana, filsafat politik yang mendasari politiknya. Sialnya, tragedi itu datang dari anggota parlemen dari partainya sendiri -yang kebetulan bekas pengajar filsafat di universitas. 

Di Indonesia, Gus Dur (Alm), juga pernah mengalami nasib serupa. Tapi kondisinya terbalik. Gus Dur menjadi bulan-bulanan saat memberikan sedikit abstraksi filosofis-juridis pada sidang parlemen. Nah, beliau diejek karena dianggap menjejali parlemen dengan wacana akademis.
 
Dasar berpikir sebagian anggota parlemen waktu itu sederhana. Politik praktis tidak membutuhkan wejangan dan penjelasan filsafat politik. Yang dibutuhkan politik praktis hanya retorika. Bukan logika.
Lantas, benarkah politik praktis tidak memelukan filsafat?
 
Leo Strauss, filosuf politik Chicago, tidak sependapat. Para filosuf harus turun gunung mewejangi para politisi”, katanya. Karena hanya dengan itu politik praktis akan berbobot. Tidak semata karnaval kebodohan dan kemunafikan yang menjijikkan.

Fil
osuf  ideal Straussian mesti jadi bejana pikiran bagi para politisi. Membantu merumuskan kebijakan-kebijakan politik berbasiskan argumentasi filosofis yang kuat. Tak sekadar mengikuti common sense yang dangkal dan kurang berdasar. 

Singkat cerita, politik praktis sejatinya harus tunduk pada filsafat politik.
Tapi, Jonathan Wolff, filsuf politik lainnya, menolak hubungan antara filsafat politik dan politik praktis seperti anjuran Strauss tersebut. Filsafat politik, menurut Wolff, bukanlah "hakim epistemik" bagi kebijakan politik. Itu tidak kondusif  bagi perkembangan atmosfer demokrasi. Filsafat politik tidak boleh turun tangan pada soal-soal politik praktis.
 
Lantas, apa tugas praksis para filsuf. Apakah mereka puas berpikir di puncak gunung, tanpa menyentuh kehidupan sehari-hari? Atau mengelus dada melihat kekacauan berpikir para politisi? Rasanya sikap itu juga bukan sesuatu yang positif.

Para filosuf politik kontemporer mengambil sikap moderat. Filsafat politik bukan "hakim epistemik" bagi politik praktis. Perannya adalah pengatur lalu lintas yang merumuskan rambu-rambu bagi percaturan politik yang fair. Ini tidak boleh diserahkan pada para politisi. Karena, mengutip Donny G Adian, begitu diserahkan, rambu-rambu yang dibuat hanya akan melayani kepentingan the ruling party or parties.
Polemik di atas, menyimpan sedikitnya dua pertanyaan. Apakah politik praktis memerlukan inspirasi filsafat politik.
 
Yang nampak hingga kini, kecenderungan skolastikal masih cukup dominan di kalangan akademisi filsafat. Kerja filosofis sekadar membolak-balik traktat dan disertasi doktoral tanpa mampu mengaitkannya dengan isu-isu keseharian. Padahal, di saat bersamaan demokrasi kita masih compang-camping.
Lantas akan bagaimana nasib filsafat politik di republik ini kedepan?.

1 Komentar

  1. nasibnya tergantung pada jwa jiwa yang mengerti benar akan sesuatu yang baik dan benar..........
    artikelnya menarik

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama