Romantisme sejarah terhadap heroisme kepemimpinan pemuda di era kemerdekaan membuat sebagian kalangan “bermimpi” mengulanginya. Kampanye pun dirancang. Perang wacana untuk menggagas dan menyiasati kemunculan pemimpin muda ke kancah panggung politik Nasional berkecamuk. Seru. Sudah pasti.

Peran kepemimpinan pemuda memang menjadi primadona dalam konstelasi politik. Di manapun -katanya..-. Soekarno, misalnya; pernah berujar lantang: “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia!”. Soekarno tidak membual, mengutip M Fadjroel Rachman, “kaum muda memang lebih berprestasi, progresif, dan inovatif menyelesaikan permasalahan aktual Indonesia...”.

Berbagai slogan ramai dikumandangkan. “Saatnya kaum muda memimpin”, “Waktunya gerakan muda memimpin”, riuh slogan-slogan itu. Audisi pun dihelat. “Dicari: Pemimpin Muda Idaman”. Ini bukan sembarang audisi, kawan.

Sejauh ini keyakinan untuk menghadirkan pemimpin muda memang cukup beralasan, lantaran krisis kepemimpinan akut memang mendera bangsa kita. Untuk memperkuat alasan ini, saya jadi teringat sebuah catatan, (tulisan saya sendiri). Meski beraroma narsis, saya tulis kembali dihalaman ini.

Begini tulisannya, “Negeri ini sakit parah. Lebih dari setengah abad merdeka, tapi kita tetap saja berkutat pada persoalan-persoalan klasik-mendasar. Pendidikan aut-autan, ekonomi tak kena sasaran, kemiskinan membeludak, keadilan dan kesejahteraan tetap saja sebatas angan. Ibarat pepatah, masih jauh panggang dari api”.

Kepemimpinan dinegeri ini memang beputar pada orang itu-itu melulu. Pantaslah kiranya kaum muda merasa “geregetan”. Menyaksikan roda kepemimpinan yang selalu saja berputar pada golongan yang sama. Tengok saja -meminjam Eko Prasetyo- sebagian besar punggawa bangsa ini adalah mereka yang sudah “berusia”, sudah berumur dan uzur. Secara psikis mereka tentu bukan lagi sosok pemberani. Disinilah -salah satunya- mimpi menghadirkan para pemimpin muda menemui pijakannya.

Menghadirkan sesosok pemimpin muda bukanlah sesuatu yang mustahil. Apalagi wacana dan gerakan yang gencar sebagai prasyarat untuk mewujudkan mimpi itu kian massif. Kapan hal itu terwujud, entahlah.

Saya sendiri merasa lebih asik jadi penonton. Bukan lantaran tak peduli. Tak setuju, atau hendak membela muka-muka tua yang masih manis berkeliaran dengan ketidak becusannya mengelola negeri ini.

Banyak alasan –utamanya-, hingga minggu ini, belum nampak batang hidungnya; kaum muda yang mampu merasakan, mengerti, memahami dan berniat tulus mensejahtrakan bangsanya. Tidak juga aku.
“Akankah itu ada padamu, kawan?”

Download Artikel Ini

14 Komentar

  1. ::: permasalahan memang masih yang klasik.... ^-^

    ::: tapi generasi yang menuntut makin modern dan konyol

    ::: ^-^v.... ada foto langsung dari TKP bandung ... ^-^

    BalasHapus
  2. bagi saya pribadi..yang menjadi permasalaha n bukanlah usia atau jabatan...melainkan kesadaran untuk peduli...

    BalasHapus
  3. tuker link sobat? link ini sudah saya pasang di blok saya, silahkan cek..dan ditunggu link baliknya..nuhun..

    BalasHapus
  4. Ok...akan segera saya pasang...terimakasih banyak..dah sudi mampir.

    BalasHapus
  5. saya tidak memandang tua maupun muda dalam hal ini...banyak orang muda yg hanya terbawa euforia sesaat,emosi yg meledak yg hanya membawa celaka pada diri sendiri apalagi orang banyak...siapa pun yg jadi pemimpin di negeri ini haruslah mereka yang bisa berlaku adil dan meletekan sumpah jabatan di pundak bukan di bokong...!!!

    BalasHapus
  6. mendingan pemimpin itu digodok kayak indonesia mencari bakat, biar seru..

    BalasHapus
  7. terimakasih banyak buat komentar2nya...

    BalasHapus
  8. eh, link'y udah ku pasang,,, tukeran yaa... mksh

    BalasHapus
  9. Yang penting ahli di bidangnya, mau muda atau tua... dan gak korupsi walaupun cuma setetes

    BalasHapus
  10. jangan dijadikan pembelaan diri aj Bung!

    BalasHapus
  11. yang tua g slamanya lebih baik dari yang muda...

    BalasHapus
  12. @rosa; begitu juga sebaliknya..ya...??

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama