Artikel ini adalah bagian ke II dari kritik saya terhadap etika media massa yang telah saya posting sebelumnya. kalau sodara sudah baca silahkan lanjutkan. Bagi yang belum silahkan baca dulu Kritik Terhadap Etika Media Massa [1].
HINGGA kini, fokus perhatian etika media massa ada pada wilayah teknik jurnalistik. Wilayah teknis dalam etika media massa ini terkait proyek bagaimana menghasilkan berita yang sesuai dengan fakta dan mengurangi bias sekecil mungkin.

Nilai berita yaitu kebaruan, kedekatan, kebesaran, signifikansi, dan human interest menjadi rambu-rambu teknis untuk menentukan kelayakan berita.

Pada wilayah itu, pembangunan etika didasarkan prinsip-prinsip teknis yaitu akurasi, keberimbangan, dan keadilan (fairness). Tujuan utamanya tentu saja untuk membangun obyektivitas dan kebenaran (truth) (baca: Media). Hingga kini, berbagai jenis pelatihan etika jurnalistik hanya berorientasi pada masalah etika dalam wilayah teknik jurnalistik tersebut.

Dalam kompetisi industri media yang kian seru, pertimbangan teknis sering hanya didasari etika teknis. Beberapa waktu yang lalu, sebuah talkshow di televisi membahas mutilasi dengan mengundang dua narasumber: seorang kriminolog dan ahli forensik. Sang ahli forensik dengan dingin memaparkan aneka jenis modus mutilasi dengan amat rinci, termasuk cara pemotongan bagian-bagian tubuh.

Jika memakai kaidah etika teknik, tidak ada yang salah dengan acara itu karena memenuhi kaidah akurasi. Hanya saja sulit menemukan makna publik di balik pemaparan berbagai teknik mutilasi itu bagi masyarakat.

Masalahnya terletak di wilayah etika kedua yang terkait makna publik. Wilayah ini melampaui wilayah teknik dan berusaha menampilkan media massa terkait makna publik (public meaning) di balik berita. Etika pada level ini tidak lagi berurusan dengan operasi teknis, tetapi sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik (Ashadi Siregar, 2008).

Jadi masalahnya bukan bagaimana menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan news analysis agar mempunyai makna publik. Dengan demikian persoalannya bukan apakah sebuah berita sesuai dengan fakta, tetapi apakah berita itu memiliki nilai publik.

Dalam konteks televisi, temuan Bandura tiga puluh tahun lalu seharusnya menjadi peringatan bahwa menampilkan fakta apa adanya ternyata tidak cukup. Menampilkan ahli forensik dalam talkshow TV dan memaparkan teknik mutilasi secara rinci harus dihadapkan pada konteks makna publiknya (R Kristiawan, 2008).

Sambungan Artikel di atas akan saya posting besok, jangan lupa mampir ke kandang BangngangaN lagi ya..

5 Komentar

  1. ini yg perlu digarisbawahi bang.. "sebuah berita sesuai dengan fakta, atau berita memiliki nilai publik."
    kadang yg dikejar oleh media malah yg kedua..

    BalasHapus
  2. Apik postingane...:) Akan lebih bagus jika mau posting analisis wacana dan analisis framing, tentang media juga...:)

    thanks udah datang ke NewYorkyakarta.net
    Kami masih blog aja....namanya juga blogger...:)

    BalasHapus
  3. Ada kecenderungan media sering sekali mengikuti trend yang menjadi persaingan dengan media lain. Jika media x sukses pemberitaan A, maka media y dan lainnya akan berlomba2 mencari berita yang setema atau sama dengan berita A. Mereka tidak memikirkan bagaimana dampak kepada masyarakat.

    BalasHapus
  4. Ya kadang media massa memang lebih mengutamakan kepentingan rating dan nilai ekonomis, ketimbang nilai edukasi.Tapi, sebetulnya tak semua media kok,Pak, yang seperti itu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama